Bab 987
Hanya dengan satu pukulan saja, hidung si pemuda langsung hancur, pangkal hidungnya patah dan darah
merembes keluar dari mulut dan hidungnya.
Pada saat ini para pemuda lainnya juga ikut menyerbu Reva namun mereka semua, satu demi satu langsung roboh
dengan tinju dan pukulan Reva.
Pada akhirnya, Reva menjambak lagi rambut Agus dan menyeretnya hingga ke depan Nara.
“Berlutut!”
Reva berseru dengan dingin.
Agus meludah dan memaki dengan marah, “Bangsat, apa kau tahu siapa aku? Apa kau tahu siapa bos aku…?”
Reva langsung menampar lagi wajahnya dan mulut Agus mengeluarkan darah lagi.
“Berlutut!”
Reva meneriakinya lagi dengan dingin.
Agus langsung meraung, “Sial, kau benar kakakku namanya Johnson!”
–
benar berani menghajarku. Aku kasih tahu yah,
“Coba kau tanya di kota Pelajar sana, siapa yang tidak kenal dengan kakakku, dasar…”
Reva langsung menampar wajahnya lagi dan kali ini dia langsung membuatnya berlutut tanpa mengatakannya lagi.
Agus sangat marah sekali, “Dasar brengsek…”
“Plakkk…” dia ditampar lagi.
Agus, “Aku…”
“Plakk…” Sebuah tamparan melayang lagi.
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtDengan begitu, setelah ditampar beberapa kali secara berturut – turut akhirnya Agus baru mau menurut dan
berhenti berbicara.
Namun sayangnya hasilnya sama saja. Dia masih saja ditampar, “plakk…”
–
Dengan terburu – buru Agus berkata, “Aku sudah tidak mengatakan apa masih memukuliku?”
–
apa lagi, kenapa kau
Lalu dengan dingin Reva berkata, “Berlututlah!”
Agus langsung meraung, “Jangan mimpi!”
Plakk, plakk.. plakk… Dia ditampar lagi dan lagi!
Reva tidak mengatakan apa–apa. Dia hanya terus menamparnya saja.
Agus panik. “Pak satpam, pak satpam, mengapa kalian tidak mengurusi ini?”
Tidak ada seorangpun yang mempedulikannya. Para satpam itu malah berharap agar Reva bisa menghajarnya
sampai mati.
Pada akhirnya, Agus baru menurut dan berlutut di atas jalan namun dia masih saja keras kepala, “Awas kau, dasar
bocah!”
“Nanti kalau kakakku sudah datang, mau minta ampun juga sudah terlambat, aku…”
Plakk… sebuah tamparan dilayangkan kembali.
Akhirnya Agus tidak berbicara lagi.
Reva: “Bersujudlah!”
Agus: “Kau jangan kelewatan yah!”
Plakk… plakk…
Agus hanya bisa mengalah dan bersujud kepada Nara.
Plakk… plakk…
Reva: “Beri hormat!”
Leher Agus memerah namun pada akhirnya dia juga tidak berani melawan dan bersujud kepadanya dengan
hormat.
Plak… plakk…
Agus langsung marah, “Aku sudah bersujud dan memberi hormat kepadanya!”
Reva: “Memangnya aku sudah menyuruhmu berhenti?”
Agus terperanjat. Memangnya bersujud dan memberi hormat satu kali saja masih belum cukup?
Namun, pada akhirnya dia juga tetap tidak berani membantah dan hanya bisa terus bersujud dan memberi hormat.
Sekali, dua kali, tiga kali..
Selama Reva belum menyuruhnya berhenti, dia sama sekali tidak berani berhenti.
Dan akhirnya setelah bersujud dan memberi hormat sebanyak sepuluh kali lalu dengan dingin Reva berkata, “Oke.”
“Sekarang ambil kunci mobilnya dan bersihkan.”
“Ambil kuncinya dan bersihkan.”
Kedua pipi Agus tampak bengkak. Kali ini dia benar–benar tidak berani melawan dan membantah lagi. Dia segera
berlari ke tempat sampah untuk mencari kunci mobil dan membersihkannya dengan hormat.
Reva mengembalikan kunci mobil itu kepada Nara, “Kau pergi dulu saja.”
Nara tersenyum. Dia sama sekali tidak merasa perlu bersimpati kepada orang–orang seperti Agus.
Agus menundukkan kepalanya dan menatap Reva dengan tatapan muram.
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmReva meliriknya sekilas, “Kenapa, kau tidak senang?”
Agus menggertakkan giginya dan berkata, “Kalau berani, sebutkan namamu, aku pasti akan datang untuk
mencarimu lagi!”
Reva mendengus dengan dingin, “Tenang saja, kau akan tahu namaku.”
“Tetapi, aku rasa kau tidak akan punya kesempatan untuk datang mencariku lagi.”
“Apa kau pikir dengan mengganggu istriku seperti itu bisa dibayar hanya dengan beberapa tamparan, sujud dan
memberi hormat seperti itu saja?”
Agus tercengang, “Jadi… jadi dia itu istrimu?”
Reva: “Kalau tidak?”
Agus mengernyitkan keningnya lalu mendengus dingin, “Hmm, dasar bocah tengik, kalau hari ini kau tidak
membunuhku, aku pasti akan punya banyak waktu untuk bermain – main denganmu!”
Reva juga tersenyum, “Kalau begitu coba kau tebak aku akan membunuhmu atau tidak?”
Ekspresi Agus langsung berubah dan dia langsung tersenyum, “Hanya kau? Ingin membunuhku?”
“Kalau kakakku sudah datang, kau lihat saja bagaimana cara kau mati nantinya!”
Reva yang tadinya telah mengepalkan tangannya dengan erat kemudian tiba -tiba tersenyum sekarang. “Baiklah,
aku tidak ingin banyak omong lagi denganmu!”
“Pak satpam, telepon polisi dan katakan bahwa mereka membawa senjata ke rumah sakit untuk melakukan
pembunuhan.”
“Tuh, pisau lipat itu sebagai buktinya!”
Sekelompok orang ini menatap tajam kepadanya dan di dalam hati bersumpah untuk membalaskan dendam ini
kepadanya.
Reva tidak hanya ingin memberi pelajaran kepada orang–orang seperti ini saja tetapi dia juga ingin membuat
orang–orang ini membayar mahal atas apa yang telah mereka lakukan!